Pada
tahun 1983, kota Tarutung, Sumatera Utara dibuat heboh oleh seorang anak
balita bernama Kaleb Otniel Hutahaean yang dapat menyembuhkan orang
sakit hanya dengan berdoa. Dalam waktu singkat namanya menyebar ke
berbagai pelosok Indonesia, dan undangan berkotbah untuk Kaleb pun mulai
membanjir.
"Orang otomatis mulai mengenal nama saya, dalam satu bulan bisa kurang lebih dua puluh harian di luar rumah," jelas Kaleb.
Diusianya
yang baru tiga tahun, Kaleb sudah harus melayani panggilan berkotbah ke
berbagai penjuru kota di Indonesia. Karena hal ini, orangtua Kaleb
menitipkannya ke salah satu kerabat di Jakarta.
Sekalipun
Kaleb menjadi anak ajaib yang dipakai Tuhan untuk menyembuhkan banyak
orang, Kaleb tetap berprilaku seperti anak pada umumnya.
"Kalau
dia habis kotbah, dia turun, dia langsung main-main seperti biasa,"
jelas Ibu Hutapea, ibu angkat Kaleb yang mengurusnya saat itu.
Selama
sepuluh tahun lamanya, Kaleb memberitakan firman Tuhan dengan tekun dan
dipakai Tuhan untuk menyembuhkan banyak orang. Namun tidak ada orang
yang tahu bahwa ada sebuah pergolakan terjadi di lubuk hatinya.
"Banyak
hal yang saya tidak mengerti, mengapa saya harus menjalani kehidupan
yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Ketika saya berdoa dan
bertanya pada Tuhan, sepertinya Tuhan juga terdiam dan tidak menjawab.
Akhirnya saya mencari jawaban-jawaban itu dengan cara saya sendiri."
Hingga
satu titik, Kaleb sudah tidak tahan lagi dan meminta ijin pada
orangtuanya untuk berhenti dari pelayanan. Orangtua Kaleb dengan penuh
pengertian mengijinkannya, dan Kaleb pun akhirnya bisa menjalani
kehidupan normal yang ia impikan.
Di
tengah masa remajanya itu, sama seperti anak-anak lain, Kaleb pun
melakukan pencarian akan jati dirinya. Namun karena salah pergaulan, ia
terperosok pada perangkap narkoba.
"Saya
waktu itu memiliki banyak waktu luang dan ngumpul dengan teman-teman.
Otomatis ngga mungkin kita ngga ngerokok, ngisep ganja bareng-bareng itu
sudah pasti. Suka ngga suka, itu sudah merupakan lambang pergaulan.
Kalau ngga begitu, ya ngga punya teman. Ada perasaan bangga yang
sebenarnya semu, pada akhirnya saya bisa berontak, keluar dari image
anak baik-baik," demikian Kaleb mengungkapkan masa kelamnya.
Petualangan
Kaleb tidak berhenti disitu, ia mulai mencoba putaw dan jarum suntik.
Baginya saat itu narkoba lebih penting dari pada makan. Tapi semua itu
tidak memberinya kebahagiaan, hati kecilnya berbisik dan membuatnya
menyadari apa yang ia lakukan adalah salah, namun Kaleb seperti tak
berkutik karena telah menjadi budak narkoba.
"Seringkali
saya merasa jijik dengan diri sendiri. Di dalam diri ini menuduh,
seharusnya saya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari ini. Ada
keinginan untuk kembali lagi ke dalam rangkulan Tuhan, hanya pada waktu
itu saya tidak tahu bagaimana caranya."
Orangtua
Kaleb melihat keadaan anaknya sudah tidak terkendali lagi, untuk itu
mereka mengambil langkah untuk membawa Kaleb ke panti rehabilitasi.
"Saat di
panti rehabilitasi itulah saya ketemu dengan salah seorang mentor baru
dimana kami banyak berbincang-bincang dan berdiskusi. Ada suatu kesan
dia itu seperti sahabat, dan banyak menasihati saya dari kebenaran
firman Tuhan."
Persahabatannya dengan sang mentor membawa Kaleb kepada sebuah wawasan baru ketika suatu saat ia mencobai sang mentor.
"Saat itu saya di ruang isolasi, saya minta rokok sama dia."
Sang
mentor saat itu berkata, "Ini yang pertama kali dan yang terakhir kali,
saya tidak akan pernah lagi beli." Namun justru peristiwa itu mengubah
Kaleb.
"Justru
peristiwa ketika dia kasih rokok sama saya membuat saya merasa, "Ini dia
sebenarnya yang saya cari. Ketulusan yang seperti ini. Orang yang ngga
menggurui dan sungguh mengerti kondisi saya." Dari situ saya memutuskan
untuk berhenti merokok, saya berhenti narkoba dari free sex, karena saya
sudah menemukan hati Bapa ketika saya bergaul dengan mentor saya,
Rodelio," kenang Kaleb.
Sembuh
dari kecanduannya akan narkoba, Kaleb pun memutuskan untuk mencari
kehidupan yang baru di sebuah komunitas. Dikomunitas itulah, Kaleb
memutuskan untuk menjadikan hidupnya lebih baik. Empat tahun ia jalani
dalam keadaan bebas dari keterikatan pada narkoba dan seks bebas serta
memberikan hidupnya untuk melayani masyarakat pra sejahtera bersama
teman-temannya di komunitas itu, namun sesuatu yang tidak pernah ia duga
terjadi.
"Didapati
paru-paru kanan saya bolong besar, paru-paru kiri saya bolong
kecil-kecil." Dokter (Prof. Zubairi, Rs. Kramat 128) yang menangani Kaleb menyatakan bahwa ia mengidap
TBC kelenjar, TBC paru, ada jamur ditubuhnya yang merajalela dan
mengalami serangan semacam asma. Namun semua penyakit itu belumlah
cukup, vonis dokter yang terakhir ini membuat seakan dunia yang ia
miliki hancur.
"Saya positif HIV/AIDS.."
Kaleb
bertanya-tanya, mengapa semua itu diijinkan terjadi saat ia sudah
bertobat dan sudah kembali melayani Tuhan. Namun dalam kondisinya yang
sudah dekat dengan maut saat itu, ia tidak menyalahkan Tuhan.
"Saya
menyadari betul siapa saya. Saya sadar perbuatan saya dan saya percaya
bahwa Tuhan tidak pernah merencanakan sesuatu yang buruk untuk kehidupan
saya."
Selama
berminggu-minggu kondisi Kaleb terus menurun, bahkan untuk bernafaspun
ia sulit sekalipun sudah dibantu dengan tabung oksigen. Teman-teman
sepelayanan Kaleb terus berdoa dan memberikan semangat kepada Kaleb,
mereka memohon kepada Tuhan agar Kaleb diberi kesempatan kedua.
Dukungan
yang diberikan oleh rekan-rekannya membuat semangat hidup bagi Kaleb,
"Tuhan, kalau Tuhan kasih kesempatan untuk keluar dari ruangan ini, saya
akan membuat suatu pertarungan yaitu the last battle yang benar-benar
dasyat dan luar biasa. Lalu saya menerima suatu rhema dari Amsal, yaitu
"Seperti orang yang membuat perhituangan dengan dirinya demikianlah
dia." Dari ayat itu saya renungkan, saya belajar, baru saya dapati :
oh.. ternyata untuk bangkit dari sini saya harus membuat perhitungan
yang benar dulu dengan diri saya. Maka dari situ saya mulai mengubah
paradigma saya, tidak lagi melihat HIV ini sebagai suatu penghukuman,
bukan lagi suatu kutuk, tapi saya melihat HIV ini sebagai suatu
kesempatan untuk memuliakan nama Tuhan. Saya melihat ini sebagai suatu
amanah, saya melihat ini sebagai suatu tugas. Justru saya melihat
seluruh kondisi kehidupan saya ini sebagai suatu kesaksian hidup untuk
bercerita kepada orang bahwa pengharapan itu ada."
Perubahan
paradigma pada diri Kaleb membawa perubahan bagi tubuhnya, kondisinya
mulai membaik. Setelah menjalani perawatan selama tiga bulan di rumah
sakit, hasil cek kesehatan Kaleb menunjukkan sebuah perubahan yang luar
biasa. Lobang pada paru-paru kiri dan kanannya telah tertutup semua,
bahkan dokter yang melihat hasil roentgen-nya tidak percaya dengan hasil
yang ada dan memerintahkan untuk memeriksa ulang.
"Terakhir dia cuma nanya sama saya, "Kamu beli nyawa berapa ratus juta?" Saya cuma tersenyum saja."
Virus
HIV yang merupakan bayang-bayang kematian bagi Kaleb tiba-tiba tidak
terdeteksi lagi, bahkan dokter menyatakan bahwa kesehatannya sama
seperti orang yang tanpa HIV.
"Hal
pertama yang timbul dalam pikiran saya saat itu adalah: ternyata
pengharapan itu sungguh ada. Sesudah saya mengetahui fakta-fakta medis
yang sangat memuaskan seperti itu, membuat saya semakin bergairah
menjalani hidup saya."
Mengalami mukjizat kesembuhan yang luar biasa itu, membuat Kaleb memutuskan sebuah komitmen yang baru.
"Dulu
waktu saya kecil saya melayani berdasarkan kasih karunia, bukan kehendak
saya. Komitmen saya kepada Tuhan setelah Tuhan percayakan kehidupan
yang kedua ini pada saya, ialah saya melayani dengan hati."
Perjalanan
hidupnya ketika menjalani hidup yang baru ini tidaklah semudah membalik
telapak tangan. Masih ada godaan dari teman-temannya yang masih
menggunakan narkoba, namun dengan kasih karunia Tuhan dia mampu menolak
semua itu. Hatinya tidak lagi tertarik dengan semuanya itu.
"Satu
alasan mengapa saya tidak kembali ke kehidupan saya yang lama adalah
karena kehidupan yang saya jalani sekarang lebih baik daripada kehidupan
saya yang dulu," ungkap Kaleb sambil tersenyum.
Sumber Kesaksian:
Kaleb Otniel Hutahaean
1 Desember 2013